Oleh: Tressi A Hendraparya
Warta di Hindia Belanda pada kurun pertengahan tahun `1929 ramai memberitakan terbunuhnya seorang Eropa; Van Hengst, seorang Gemeente Opzichter di Onderafdeeling Bagansiapiapi. Kisahnya, sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media pada masa tersebut adalah sebagai berikut:
Pada tanggal 22-23 Juli 1929, Van Hengst yang bertugas memelihara kondisi lingkungan di Sungai Rokan
mengadakan tornee ke pedalaman sungai
Rokan yang berjarak selama dua hari perjalanan dengan tim sejumlah delapan orang
Polisi dan 60 orang pekerja-narapidana. Hingga suatu malam, diketahui seorang
polisi - seorang Timoor - bernama Nisunkoebira meninggalkan posnya tanpa izin dengan
membawa senjata dan amunisi, kondisi yang diluar rencana. Guna mengantisipasi
keadaan yang tidak diinginkan, Komandan pos jaga memerintahkan untuk melakukan
pemadaman lampu di tenda-tenda dan juga telah mengingatkan Van Hengst akan
situasi tersebut bahwa sang disertir tersebut bisa saja berbahaya dan ia
memilih untuk memberikan pengamanan ekstra terhadap pos-pos tersebut.
Akan tetapi, nampaknya Van hengst memiliki pendapat lain dan mengatakan,
“Wie zal mij, ouden man, kwaad
doen, ik heb geen vijanden".
Van Hengst merasa ia tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu dan
tetap menyalakan lampu diluar tenda dimana ia tidur disana. Menjelang jam 5 pagi, sang disertir kembali
dan dengan senjata ditangannya ia membunuh Van Hengst dengan tiga kali
tembakan. Beberapa jam setelah perbuatan mengerikan tersebut, sang polisi
disertir menyerahkan diri kepada polisi di pos. Dari hasil interograsi dan di
persidangan dimana jaksa menanyakannya, pembunuh tersebut mengatakan bahwa ia “silap.”
Meskipun demikian, Pengadilan di Medan tetap menjatuhinya vonis hukuman mati.
Van Hengst adalah seorang Eropa tertua di Bagansiapiapi, dimana pada saat wafatnya ia berusia 60 tahun. Selain itu, Van Hengst telah bertempat tinggal di Bagan sekitar 30 tahun. Ini berarti Van Hengst memasuki Bagansiapiapi pada sekitar tahun 1899 – yang menempatkannya sebagai salah satu orang Eropa pertama yang tinggal disana, bahkan orang Eropa sendiri mengatakan ia adalah "Orang Bagan." Bahwa kurun perjalanan hidupnya di Kota-nelayan selama puluhan tahun tersebut telah menjadikannya seorang pebisnis hingga kebakaran besar telah menghancurkan usahanya yang tidak dijamin oleh asuransi dan membuatnya harus kembali memulai segalanya dari awal. Van hengst menikahi seorang wanita Tionghoa Bagan, dan memiliki 6 orang anak. Anak terakhirnya lahir 2 tahun menjelang kematiannya di tahun 1929. Sejatinya, Van hengst adalah seorang pebisnis dan bukan birokrat. Namun melihat kondisi bisnisnya, Pemerintah mengangkatnya menjadi seorang “Gemeente Opzichter” sehingga ia dapat memperoleh penghasilan yang lumayan dan dapat mencukupi keluarga besarnya. Selain itu, Van hengst adalah salah seorang tokoh Eropa yang ikut andil dalam mewarnai modernisasi Kota Bagansiapiapi; dimana ia termasuk yang turut mempelopori pendirian “Water Leiding” Bagansiapiapi. Water Leiding didirikan kurun tahun 1931-1932, dan terus mengalami penyempurnaan hingga tahun 1938 dimana dilakukan penggantian pipa-pipa yang mengalirkan air bersih ke segenap kota Bagansiapiapi.
Ket: Gambar Van Hengst bersama keluarganya-diperkirakan tahun 1920-an.
Sumber: Ibu Hj.Eva, Menantu dari Toean Van Hengst
Bagansiapiapi, 7 Januari 2015

Tidak ada komentar:
Posting Komentar