.

Jumat, 21 Juni 2013

TJOEMA BAGAN SIAPI-API BISA BERENDENG DENGAN BERGEN





Jika merujuk pada literatur-yang ada, maka Bagansiapiapi memiliki possisi ke-2 dalam hal  produksi ikan, yakni setelah Noorwegia.  Akan tetapi,  DELI COURANT terbitan  1934 menyatakan bahwa Bagansiapiapi dalam Produksinya di semester pertama tahun 1934 telah meninggalkan Norwegia di urutan ke-2. Hal ini dikatakannya dikarenakan selama ini produksi yang ada di antara kedua tempat tersebut  relatif sedikit saja perbedaannya. 
Sin Po edisi Mei 1940, menyatakan bahwa Bergen (Noorwegen)  sebagai pelabuhan ikan paling besar, hanya BaganSiapiapi yang mampu menyainginya. "Tjoema Bagan Si Api-Api bisa berendeng dengan Bergen."

Kamis, 20 Juni 2013

Situasi Sebahagian Kota Bagan siapi-api Sekitar Tahun 1940-an...



........................ hingga menjelang tahun 1940-an,  kota Bagansiapiapi telah menjelma menjadi suatu “modern town”, dengan kelengkapan fasilitas modern seperti listrik, air bersih hingga pemadam kebakaran.  Pembangunan perkantoran yang berjalan menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia belanda, tercatat adalah pembangunan “veld politie”(saat ini kantor Polsek Bangko) berlokasi di persimpangan “Societeit Straat dan Juliana Straat”, yang nampaknya perlu segera dibangun disebabkan kondisi bangunan yang sudah uzur dan rentan rubuh dan bahkan sebahagian sudah rubuh, sebagaimana diceritakan dalam surat Komandan polisi Bagansiapiapi, J.C.Kossen tertanggal 2 Februari 1937 perihal “Zeer bouwvallige toestand der kazarne  Veldpolitie.” Komandan Polisi Afdeeling Bengkalis menyarankan untuk sementara menggunakan Bangunan lain untuk menghindari terjadinya kecelakaan jika Bangunan itu rubuh. Pemerintah Batavia mengeluarkan kebijakan untuk membangun kembali, dengan bangunan yang lebih luas dan kuat, dengan fondasi yang kokoh, yang hingga saat ini salah satu bangunan tersebut masih  berdiri tegak. Kemudian pembangunan “opium depot/zouregie” di persimpangan “Wilhemina Straat” dan “Kerk Straat” yang  proses pelaksanaannya sendiri telah berjalan sejak tahun 1938, ......... Pembangunan gedung kantor yang terakhir ini, nampaknya berjalan tidak sesuai rencana disebabkan telah pecahnya Perang Dunia II, yang sedikit banyak telah mengganggu arus pengiriman material untuk pekerjaan pembangunan tersebut. Selanjutnya dapat diduga telah terjadi keterlambatan atau mundurnya waktu penyelesaian pekerjaan tersebut.  Fasilitas ruang publik, berupa lapangan atau “voetbalveld” yang biasa digunakan sebagai tempat bermain bola kaki, terletak di Wilhemina Straat, tempat yang sekarang dikembangkan menjadi “Taman Kota Bagansiapiapi.”

dari "Onderafdeeling Bagansiapiapi: Negeri Penghasil Ikan Terbesar di Dunia" Cet.II

Pesawat udara dengan nama "Bagan Si Api-Api"

Mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa pada tahun 1945 pernah ada nama pesawat udara dengan nama Bagan Si Api-Api. Disebabkan pesawat ini berjumlah tiga unit, maka masing-masing pesawat yang bernama Bagan Si Api-Api tersebut diberi nomor 1, 2 dan 3.  Pemberian nama pesawat dengan nama salah satu Kota di Sumatera timur tersebut dilakukan dalam suatu upacara di Pakanbaroe.

Rabu, 16 Januari 2013

BAGANSIAPIAPI



SEBUAH INTERPRETASI RELASI SOSIAL
PART 1 


Menarik sekali, pada Liburan awal tahun lalu, saya punya kesempatan mengunjungi Pekanbaru meski hanya sehari beserta keluarga, ke rumah orang tua tentunya. Waktu yang pas-pasan itu saya manfaatkan untuk mengunjungi toko buku Gramedia (bukan promosi lho). Putar-putar dan melirak-lirik, akhirnya ada yang terlihat menarik, sebuah buku lumayan tebal dengan judul enam kota di sumatera. Bukan apa-apa, soalnya di covernya ada terdapat gambar beberapa bangunan peribadatan di Kota ku, Bagansiapiapi, wah, dapat buku bagus dan langka ini, maka tanpa berpikir lima kali pun  segera saja buku itu berpindah tangan. Sepulangnya ke Bagan, Aku mulai membuka buku itu, dan langsung ke artikel tentang Bagansiapiapi. Ya jelas, ini kan Kota ku, dengan perlahan aku mulai berusaha menyelami pemikiran dan maksud penulisan ini...

Saya pun lantas teringat, semasa bertempat tinggal di Jalan Bintang, Bagian barat Kota Bagan yang jalan ini menuju langsung ke Sinaboi. Disana sebuah rumah kontrakan yang mungil dan bersahaja menjadi bagian dari rutinitas. Rumah ini persis di pinggir jalan (sangat dekat jalan sehingga jika sudah malam hari maka terdengarlah bunyi terompah orang yang lalu lalang). Rumah ini dimiliki seorang warga keturunan suku-Jawa, janda dari pensiunan Pegawai Pemerintah. Diseberangnya terdapat rumah seorang warga Tionghoa yang pekerjaannya sebagai pengumpul ayam (memang nampaknya setiap hari banyak orang berdatangan menjual ayamnya kesana) untuk selanjutnya dibawa ke Pasar. Hari-hari selama tiga tahun tersebut dilewati dengan pemandangan gerakan arus warga dari arah “ili (hilir) menuju kota di pagi hari, dan kebalikannya diwaktu petang. 

Pemukiman Tionghoa di sepanjang jalan Bintang semakin padat hingga arah ke pusat kota. Adapun arah di hulu, sama halnya dengan di hilir adalah pemukiman orang-orang Melayu. Selain itu, arah kedarat juga merupakan kawasan pemukiman orang Melayu. Jika digambarkan, maka akan menyerupai lingkaran dimana pada lingkaran dalam dihuni oleh warga keturunan dan linkaran sebelah luar adalah warga melayu. Pola ini, mirip dengan pola pada era Kolonial, dimana central kota dihuni oleh warga Tionghoa dan Melayu berada pada lapisan luar. Khusus pada bahagian sentral, maka ini terbagi lagi menjadi tiga lapisan sosial berdasarkan ekonomi (ini berdasarkan laporan pada suratkabar masa itu).

Kembali pada masalah tempat tinggal, setelah dari Jalan Bintang, Kami memutuskan untuk pindah ke Jalan Sedar (mungkin ini ujung jalan sedar), menempati sebuah rumah bergaya kopel milik seorang Tionghoa. Dan disini, memang benar-benar sebuah Kampung Tionghoa sebab semua tetangga adalah orang Tionghoa. Hari-hari bergaul dengan orang Tionghoa, hingga anak saya yang pertama, berusia tiga tahun hari-hari bermain dengan anak-anak Tionghoa. Sering saya mendengar ia mengucapkan bahasa yang tidak saya mengerti, dan tiba-tiba temannya berkata kepada saya, “Mutiara tadi bilang udaranya panas.”   Begitu ia berusaha menerjemahkan bahasa yang tidak saya mengerti tadi.  Wah, ini anak kursus bahasa Tionghoa gratis dan alami nih, begitu pikir saya. Tapi sayangnya, hanya setahun disini Kami pun pindah lagi (maklum namanya juga ngontrak) dan ga jadi itu sang anak  bisa bahasa Tionghoa, Sekarang kalau saya tanya itu bahasa, dia jawab ga ingat, wah sayang sekali :(

Teringat juga bahwa saya seringkali mencatat kejadian-kejadian atauipun peristiwa dalam kaitannya dengan interaksi sosial disini, mungkin seperti reporter yang mencatat sebuah berita, tanpa di tafsir-tafsir ataupun diinterpretasi, biar saja itu data seperti adanya,  mulai dari kebiasaan, cara bergaul, siapa bergaul dengan siapa, dimana, acara-acara apa yang biasanya penting, peristiwa kebakaran (karena disana terdapat beberapa kejadian interaksi), kecelakaan, bentuk-bentuk kerjsama, aktifitas ekonomi, gaya hidup dan sebagainya.

Mengapa ya yang begini saja musti dicatat?
Ya.. ini barangkali keinget sama Tuan Suhartoko NA, Sang Dosen yang mengajar Pengantar Sosiologi dan Metode Penelitian Sosial dengan "Verstehen"-nya. Dari metode ini konon muncul karya-karya legendaris yang lahir dari tangan dingin Selo Soemardjan, ataupun       q8 Clifford Geertz;

Senang ranyanya jika dapat menceritakan suatu kondisi masyarakat berdasarkan interpretasi mereka sendiri, bahwa segala peristiwa interaksi sosial yang berkenaan dengan diri dan lingkungannya adalah benar-benmar sesuatu yang berdasarkan pengamatan yang mendalam dan komperhensif. Ini pekerjaan berat, namun dengan dibantu oleh seperangkat metode, maka diharapkan apapun model penulisannya dapat diselesaikan dengan baik.

Oh ya, Saya coba untuk membuka beberapa catatan yang saya simpan selama saya Tinggal di Jalan Bintang, untung belum hilang, meski kertasnya sudah rada lusuh.. namun beberapa coretan yang setelah disusun akan begini kira-kira bunyinya:

Sekitar bulan Juni 2005. Suatu ketika terjadi kebakaran rumah orang Tionghoa tepatnya berlokasi di Jalan Bintang tidak jauh dari PLN. Gumpalan asap hitam yang membumbung ke angkasa seolah-olah telah menjadi magnit besar yang menarik perhatian warga. Arus orang yang berdatangan segera membentuk kerumunan mulai dari arah pusat kota hingga arah sinaboi. Mobil pemadam kebakaran Pemda dikerahkan, yang sayangnya; tidak mampu segera memadamkan kobaran api yang telah mencapai hingga beberapa rumah yang umumnya terbuat dari kayu. Disebelah belakang lokasi kebakaran, Jalan Sedar, terlihat sekelompok orang Tionghoa yang berusaha memadamkan api dengan mengambil air dari sumur yang terletak diseberang jalan dibelakang lokasi kebakaran tersebut. Kelompok itu dipimpin oleh seorang warga keturunan Tionghoa; dengan menggunakan Toa (Alat pengeras suara) memandu usaha pemadaman tersebut dalam bahasa Tionghoa. Terlihat dalam kelompok tersebut, beberapa warga pribumi yang turut membantu. Kondisi itu disadari oleh pimpinan kelompok tersebut yang sesekali menggunakan bahasa Nasional dalam pengarahannya.  Kurang lebih satu jam, api berhasil dipadamkan dengan menyisakan puing reruntuhan  rumah-rumah tersebut.

Catatan diatas adalah tentang kebakaran. Ya, sebuah kebakaran di Bagansiapiapi. Kebakaran terkait juga dengan perjalanan sejarah di Bagansiapiapi, dimana di era kolonial, kota yang pada saat itu dapat dikatakan seluruhnya terbuat dari Kayu, merupakan sebuah bahan bakar besar bagi berkobarnya api, hal yang juga telah disadari oleh Pemerintah Belanda pada saat itu. Meskipun demikian, tercatat Kota Bagan berkali-kali mengalami kebakaran hebat yang hampir menghanguskan seluruh kota, terutama pada tahun 1920-an, sehingga Gubernur dari Sumatera Timur berkepntingan untuk melakukan penijauan langsung ke Bagan beserta serombongan wartawan. Alhasil,  pembangunan kembali kota Bagan dilakukan dengan upaya pencegahan kebakaran seperti pem-blok-an dan pemasangan pompa air ditiap sudut blok. Anjuran Pemerintah Penjajah untuk pembangunan ulang dengan menggunakan material yang tahan api, tampaknya tidak digubris warga, ini dibuktikan dengan pembangunan ulang yang masih menggunakan material persis sama seperti sebelum terjadi kebakaran.

Lantas, dimana nilai sosiologisnya dari peristiwa  kebakaran tersebut?

Tentunya berada pada interaksi yang bersifat kerjasama antar warga, tidaksaja keturunan melain kan juga meliputi warga Melayu dalam upaya melakukan pemadaman api tersebut.
Apakah peristiwa ini penting?  Tentu saja penting, sebab disini memuat kondisi-kondisi faktual tentang ikatan-ikatan sosial yang ada di Bagansiapiapi.  Bagaimana mungkin terjadi sebuah kerjasama yang lebih bermuatan sosial ketimbang ekonomi dalam suatu masyarakat yang dikatakan berada pada situasi yang lebih mengutamakan prasangka ketimbang kerjasama? Peristiwa musibah kebakaran adalah peristiwa tak terduga dimana reaksi yang timbul tentulah reaksi spontanitas, bukan dibuat-buat, di reka-reka atau semacamnya.

Akan tetapi, stereotip yang ada bukan tanpa sebab. Diatas kertas,  sebagaimana layaknya kehidupan urban, maka basis kehidupan sosial di Bagansiapiapi tak ubahnya  bagai sekumpulan kotak-kotak yang masing-masing diikat oleh benang-benang kepentingan ekonomi. Interaksi kultural tentu akan intensif  berada didalam kotak, dan bukan antar kotak.  Namun dapat dikatakan disini, bahwa kehidupan sosial dibangun terutama berdasarkan prinsip kerjasama, kerjasama adalah dominan ketimbang konflik. Bagaimana masyarakat dapat membangun dan mempertahankan dirinya jika hanya melulu konflik?  Benturan-benturan antar “kotak’ atau apapun namanya, pada akhirnya akan menjadi sintesa ekuibilirium yang baru, dan selalu begitu. Bagansiapiapi, dengan berbagai elemen sosial akan berupaya untuk mencapai kehamonisan melalui proses sosial yang dinamis, yang menunjukkan geliat sosial dalam rangka mencapai tujuan kolektif. Nah ini teorinya, bagaimana pula realitanya?

(Bersambung)

By Tressi A.Hendraparya
rioembeer@yahoo.com