Sin Po edisi Mei 1940, menyatakan bahwa Bergen (Noorwegen) sebagai pelabuhan ikan paling besar, hanya BaganSiapiapi yang mampu menyainginya. "Tjoema Bagan Si Api-Api bisa berendeng dengan Bergen."
Jumat, 21 Juni 2013
TJOEMA BAGAN SIAPI-API BISA BERENDENG DENGAN BERGEN
Sin Po edisi Mei 1940, menyatakan bahwa Bergen (Noorwegen) sebagai pelabuhan ikan paling besar, hanya BaganSiapiapi yang mampu menyainginya. "Tjoema Bagan Si Api-Api bisa berendeng dengan Bergen."
Kamis, 20 Juni 2013
Situasi Sebahagian Kota Bagan siapi-api Sekitar Tahun 1940-an...
........................ hingga menjelang tahun 1940-an, kota
Bagansiapiapi telah menjelma menjadi suatu “modern
town”, dengan kelengkapan fasilitas modern seperti listrik, air bersih
hingga pemadam kebakaran. Pembangunan
perkantoran yang berjalan menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia belanda,
tercatat adalah pembangunan “veld
politie”(saat ini kantor Polsek Bangko) berlokasi di
persimpangan “Societeit Straat dan Juliana Straat”, yang
nampaknya perlu segera dibangun disebabkan kondisi bangunan yang sudah uzur dan
rentan rubuh dan bahkan sebahagian sudah rubuh, sebagaimana diceritakan dalam
surat Komandan polisi Bagansiapiapi, J.C.Kossen tertanggal 2 Februari 1937
perihal “Zeer bouwvallige toestand der
kazarne Veldpolitie.” Komandan
Polisi Afdeeling Bengkalis menyarankan untuk sementara menggunakan Bangunan
lain untuk menghindari terjadinya kecelakaan jika Bangunan itu rubuh.
Pemerintah Batavia mengeluarkan kebijakan untuk membangun kembali, dengan
bangunan yang lebih luas dan kuat, dengan fondasi yang kokoh, yang hingga saat
ini salah satu bangunan tersebut masih
berdiri tegak. Kemudian pembangunan “opium depot/zouregie” di persimpangan
“Wilhemina Straat” dan “Kerk Straat” yang proses pelaksanaannya sendiri telah
berjalan sejak tahun 1938, ......... Pembangunan gedung kantor yang
terakhir ini, nampaknya berjalan tidak sesuai rencana disebabkan telah pecahnya
Perang Dunia II, yang sedikit banyak telah mengganggu arus pengiriman material
untuk pekerjaan pembangunan tersebut. Selanjutnya dapat diduga telah terjadi keterlambatan
atau mundurnya waktu penyelesaian pekerjaan tersebut. Fasilitas ruang publik, berupa lapangan atau “voetbalveld” yang biasa digunakan
sebagai tempat bermain bola kaki, terletak di Wilhemina Straat, tempat yang sekarang dikembangkan menjadi “Taman
Kota Bagansiapiapi.”
dari "Onderafdeeling Bagansiapiapi: Negeri Penghasil Ikan Terbesar di Dunia" Cet.II
Pesawat udara dengan nama "Bagan Si Api-Api"
Mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa pada tahun 1945 pernah ada nama pesawat udara dengan nama Bagan Si Api-Api. Disebabkan pesawat ini berjumlah tiga unit, maka masing-masing pesawat yang bernama Bagan Si Api-Api tersebut diberi nomor 1, 2 dan 3. Pemberian nama pesawat dengan nama salah satu Kota di Sumatera timur tersebut dilakukan dalam suatu upacara di Pakanbaroe.
Rabu, 16 Januari 2013
BAGANSIAPIAPI
SEBUAH INTERPRETASI RELASI SOSIAL
PART 1
Menarik sekali, pada Liburan awal tahun
lalu, saya punya kesempatan mengunjungi Pekanbaru meski hanya sehari beserta
keluarga, ke rumah orang tua tentunya. Waktu yang pas-pasan itu saya manfaatkan
untuk mengunjungi toko buku Gramedia (bukan
promosi lho). Putar-putar dan melirak-lirik, akhirnya ada yang terlihat
menarik, sebuah buku lumayan tebal dengan judul enam kota di sumatera. Bukan
apa-apa, soalnya di covernya ada terdapat gambar beberapa bangunan peribadatan
di Kota ku, Bagansiapiapi, wah, dapat buku bagus dan langka ini, maka tanpa
berpikir lima kali pun segera saja buku
itu berpindah tangan. Sepulangnya ke Bagan, Aku mulai membuka buku itu, dan
langsung ke artikel tentang Bagansiapiapi. Ya jelas, ini kan Kota ku, dengan
perlahan aku mulai berusaha menyelami pemikiran dan maksud penulisan ini...
Saya pun lantas teringat, semasa bertempat
tinggal di Jalan Bintang, Bagian barat Kota Bagan yang jalan ini menuju
langsung ke Sinaboi. Disana sebuah rumah kontrakan yang mungil dan bersahaja
menjadi bagian dari rutinitas. Rumah ini persis di pinggir jalan (sangat dekat
jalan sehingga jika sudah malam hari maka terdengarlah bunyi terompah orang
yang lalu lalang). Rumah ini dimiliki seorang warga keturunan suku-Jawa, janda
dari pensiunan Pegawai Pemerintah. Diseberangnya terdapat rumah seorang warga
Tionghoa yang pekerjaannya sebagai pengumpul ayam (memang nampaknya setiap hari
banyak orang berdatangan menjual ayamnya kesana) untuk selanjutnya dibawa ke
Pasar. Hari-hari selama tiga tahun tersebut dilewati dengan pemandangan gerakan
arus warga dari arah “ili (hilir)
menuju kota di pagi hari, dan kebalikannya diwaktu petang.
Pemukiman Tionghoa di sepanjang jalan
Bintang semakin padat hingga arah ke pusat kota. Adapun arah di hulu, sama
halnya dengan di hilir adalah pemukiman orang-orang Melayu. Selain itu, arah
kedarat juga merupakan kawasan pemukiman orang Melayu. Jika digambarkan, maka
akan menyerupai lingkaran dimana pada lingkaran dalam dihuni oleh warga keturunan
dan linkaran sebelah luar adalah warga melayu. Pola ini, mirip dengan pola pada
era Kolonial, dimana central kota dihuni oleh warga Tionghoa dan Melayu berada
pada lapisan luar. Khusus pada bahagian sentral, maka ini terbagi lagi menjadi
tiga lapisan sosial berdasarkan ekonomi (ini berdasarkan laporan pada
suratkabar masa itu).
Kembali pada masalah tempat tinggal,
setelah dari Jalan Bintang, Kami memutuskan untuk pindah ke Jalan Sedar
(mungkin ini ujung jalan sedar), menempati sebuah rumah bergaya kopel milik
seorang Tionghoa. Dan disini, memang benar-benar sebuah Kampung Tionghoa sebab
semua tetangga adalah orang Tionghoa. Hari-hari bergaul dengan orang Tionghoa,
hingga anak saya yang pertama, berusia tiga tahun hari-hari bermain dengan
anak-anak Tionghoa. Sering saya mendengar ia mengucapkan bahasa yang tidak saya
mengerti, dan tiba-tiba temannya berkata kepada saya, “Mutiara tadi bilang udaranya panas.” Begitu ia berusaha menerjemahkan bahasa yang
tidak saya mengerti tadi. Wah, ini anak
kursus bahasa Tionghoa gratis dan alami nih, begitu pikir saya. Tapi sayangnya,
hanya setahun disini Kami pun pindah lagi (maklum namanya juga ngontrak) dan ga
jadi itu sang anak bisa bahasa Tionghoa,
Sekarang kalau saya tanya itu bahasa, dia jawab ga ingat, wah sayang sekali :(
Teringat juga bahwa saya seringkali
mencatat kejadian-kejadian atauipun peristiwa dalam kaitannya dengan interaksi
sosial disini, mungkin seperti reporter yang mencatat sebuah berita, tanpa di
tafsir-tafsir ataupun diinterpretasi, biar saja itu data seperti adanya, mulai dari kebiasaan, cara bergaul, siapa
bergaul dengan siapa, dimana, acara-acara apa yang biasanya penting, peristiwa
kebakaran (karena disana terdapat beberapa kejadian interaksi), kecelakaan,
bentuk-bentuk kerjsama, aktifitas ekonomi, gaya hidup dan sebagainya.
Mengapa ya yang begini saja musti dicatat?
Ya.. ini barangkali keinget sama Tuan
Suhartoko NA, Sang Dosen yang mengajar Pengantar Sosiologi dan Metode
Penelitian Sosial dengan "Verstehen"-nya.
Dari metode ini konon muncul karya-karya legendaris yang lahir dari tangan
dingin Selo Soemardjan, ataupun q8 Clifford Geertz;
Senang ranyanya jika dapat menceritakan
suatu kondisi masyarakat berdasarkan interpretasi mereka sendiri, bahwa segala
peristiwa interaksi sosial yang berkenaan dengan diri dan lingkungannya adalah
benar-benmar sesuatu yang berdasarkan pengamatan yang mendalam dan
komperhensif. Ini pekerjaan berat, namun dengan dibantu oleh seperangkat
metode, maka diharapkan apapun model penulisannya dapat diselesaikan dengan
baik.
Oh ya, Saya coba untuk membuka beberapa
catatan yang saya simpan selama saya Tinggal di Jalan Bintang, untung belum
hilang, meski kertasnya sudah rada lusuh.. namun beberapa coretan yang setelah
disusun akan begini kira-kira bunyinya:
Sekitar bulan Juni 2005.
Suatu ketika terjadi kebakaran rumah orang Tionghoa tepatnya berlokasi di
Jalan Bintang tidak jauh dari PLN. Gumpalan asap hitam yang membumbung ke
angkasa seolah-olah telah menjadi magnit besar yang menarik perhatian warga.
Arus orang yang berdatangan segera membentuk kerumunan mulai dari arah pusat kota hingga arah sinaboi.
Mobil pemadam kebakaran Pemda dikerahkan, yang sayangnya; tidak mampu segera
memadamkan kobaran api yang telah mencapai hingga beberapa rumah yang umumnya
terbuat dari kayu. Disebelah belakang lokasi kebakaran, Jalan Sedar, terlihat
sekelompok orang Tionghoa yang berusaha memadamkan api dengan mengambil air dari sumur
yang terletak diseberang jalan dibelakang lokasi kebakaran tersebut. Kelompok
itu dipimpin oleh seorang warga keturunan Tionghoa; dengan menggunakan Toa (Alat pengeras suara) memandu usaha
pemadaman tersebut dalam bahasa Tionghoa. Terlihat dalam kelompok
tersebut, beberapa warga pribumi yang turut membantu. Kondisi itu disadari oleh
pimpinan kelompok tersebut yang sesekali menggunakan bahasa Nasional dalam
pengarahannya. Kurang lebih satu jam,
api berhasil dipadamkan dengan menyisakan puing reruntuhan rumah-rumah tersebut.
Catatan diatas adalah tentang kebakaran.
Ya, sebuah kebakaran di Bagansiapiapi. Kebakaran terkait juga dengan perjalanan
sejarah di Bagansiapiapi, dimana di era kolonial, kota yang pada saat itu dapat
dikatakan seluruhnya terbuat dari Kayu, merupakan sebuah bahan bakar besar bagi
berkobarnya api, hal yang juga telah disadari oleh Pemerintah Belanda pada saat
itu. Meskipun demikian, tercatat Kota Bagan berkali-kali mengalami kebakaran
hebat yang hampir menghanguskan seluruh kota, terutama pada tahun 1920-an,
sehingga Gubernur dari Sumatera Timur berkepntingan untuk melakukan penijauan
langsung ke Bagan beserta serombongan wartawan. Alhasil, pembangunan kembali kota Bagan dilakukan
dengan upaya pencegahan kebakaran seperti pem-blok-an dan pemasangan pompa air
ditiap sudut blok. Anjuran Pemerintah Penjajah untuk pembangunan ulang dengan
menggunakan material yang tahan api, tampaknya tidak digubris warga, ini
dibuktikan dengan pembangunan ulang yang masih menggunakan material persis sama
seperti sebelum terjadi kebakaran.
Lantas, dimana nilai sosiologisnya dari
peristiwa kebakaran tersebut?
Tentunya berada pada interaksi yang bersifat
kerjasama antar warga, tidaksaja keturunan melain kan juga meliputi warga
Melayu dalam upaya melakukan pemadaman api tersebut.
Apakah peristiwa ini penting? Tentu saja penting, sebab disini memuat
kondisi-kondisi faktual tentang ikatan-ikatan sosial yang ada di
Bagansiapiapi. Bagaimana mungkin terjadi
sebuah kerjasama yang lebih bermuatan sosial ketimbang ekonomi dalam suatu
masyarakat yang dikatakan berada pada situasi yang lebih mengutamakan prasangka
ketimbang kerjasama? Peristiwa musibah kebakaran adalah peristiwa tak terduga
dimana reaksi yang timbul tentulah reaksi spontanitas, bukan dibuat-buat, di
reka-reka atau semacamnya.
Akan tetapi, stereotip yang ada bukan
tanpa sebab. Diatas kertas, sebagaimana
layaknya kehidupan urban, maka basis kehidupan sosial di Bagansiapiapi tak
ubahnya bagai sekumpulan kotak-kotak
yang masing-masing diikat oleh benang-benang kepentingan ekonomi. Interaksi
kultural tentu akan intensif berada
didalam kotak, dan bukan antar kotak.
Namun dapat dikatakan disini, bahwa kehidupan sosial dibangun terutama
berdasarkan prinsip kerjasama, kerjasama adalah dominan ketimbang konflik.
Bagaimana masyarakat dapat membangun dan mempertahankan dirinya jika hanya
melulu konflik? Benturan-benturan antar
“kotak’ atau apapun namanya, pada akhirnya akan menjadi sintesa ekuibilirium
yang baru, dan selalu begitu. Bagansiapiapi, dengan berbagai elemen sosial akan
berupaya untuk mencapai kehamonisan melalui proses sosial yang dinamis, yang
menunjukkan geliat sosial dalam rangka mencapai tujuan kolektif. Nah ini
teorinya, bagaimana pula realitanya?
(Bersambung)
By Tressi A.Hendraparya
rioembeer@yahoo.com
Langganan:
Komentar (Atom)