.

Minggu, 22 Mei 2011

PUTRI NILAM PEKANBARU

1979-1982

Tulisan ini tidak bermaksud menceritakan seorang Putri yang bernama Nilam, melainkan ini adalah sebuah nama Jalan disalah satu sudut Kota Pekanbaru Riau. Seingatku, Jalan Putri Nilam ini dahulu tidak lebih dari 4 m lebarnya, sehingga hanya satu kendaraan roda empat yang dapat melaluinya, jalan tanah yang kalau musim hujan akan melunak sehingga siap-siap saja mobil akan terpuruk disana. Namun dari jalan ini pula Aku setiap pagi hari berangkat ke Sekolah di Taman Kanak Diniyah Putri yang letaknya di Jalan Pelajar (sekarang Jalan Kh.Ahmad Dahlan), dan sorenya aku belajar agama di Yayasan tersebut. Saat aku menginjak bangku sekolah dasar, maka kalau berangkat Sekolah (sekolah ku di SD 4 belakang Kantor Gubernur Riau), maka aku berjalan melalui Jalan Dagang yang kondisinya juga sama, terus ke jalan utama. Aku berjalan kaki dengan Kakakku, karena kakak ku juga bersekolah disana, ia kelas 3. Jadi ketika sudah lonceng pulang sekolah, maka Kami berjalan pulang menyusuri jalan yang sama. Terkadang Kami dijemput, mungkin oleh Abang, atau Kakekku. Ya siapa sajalah yang bisa menjemput.

Pekanbaru semasa aku Taman Kanak dan awal Sekolah Dasar, tepatnya Tahun 1979 sampai 1982, benar-benar berbeda dengan Pekanbaru sekarang. Kendaraan umum yang setia mengantar sesuai rutenya adalah kendaraan jenis chevrolet. Itupun masih jarang melintas di jalanan. Sesekali saja, tapi rasa-rasanya dapat memenuhi kebutuhan transportasi. Maklum saja, warga juga masih jarang pada saat itu.

Sesekali pada hari Minggu, Kakek mengajak Kami ke Kebun di arengka, (sekarang Jalan Sukarno Hatta). Perjalanan melewati Jalan Nangka, yang pada saat itu, aspal jalan hanya sampai kira-kira dekat Jalan Paus, selebihnya arah ke arengka masih jalan tanah. Kakek mengendarai mobil jenis jeep ala militer yang masih pake terpal. Pemandangan kanan-kiri adalah Hutan-hutan yang sudah ditebangi, namun menyisakan beberapa batang kayu besar yang terletak begitu saja. Sampai dekat pertigaan antara Jalan Nangka dan Jalan Sukarno Hatta, atau Simpang SKA sekarang, Mobil terpaksa berhenti, nampaknya badan jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat hanya sampai disini. Kamipun turun dan berjalan kaki arah ke kanan atau menuju persimpangan jalan durian, mungkin kira-kira 200 meter saja. Maka sampailah ke Kebun Kakek yang sudah mulai digarap. Nampaknya pekerjaan ini sangat berat, berhubung kondisi lahan gambut dan baru saja dibuka. Drainase buatan selebar 2 meter cukup banyak membantu pengeringan lahan. Namun pada saat itu tetap saja lahan seperti dalam kondisi bencah (rawa). Masih banyak burung –burung liar yang berkeliaran, aku tidak tau jenis apa. Maklum, masih kecil. Namun rasa-rasanya Kakek membawa juga senapan angin untuk jaga2, namanya juga masih rada hutan. Pada saat itu, di halaman rumah kakek ada Kandang ayam yang besar sekali, saking besarnya jadi kami biasa bermain-main melihat ayam dan juga, ehm.. ada kulit harimau!

Terkadang dikesempatan yang lain, aku dengan kawan-kawan pergi ke pertigaan nangka –arengka hanya untuk mandi di sungai-sungai galian escavator, sungguh menyenangkan. Bagaimana dengan sepeda mini aku terjun ke sungai tersebut yang airnya berwarna merah. Sangat menyenangkan. Tapi yang jelas, pulangnya aku dimarahi oleh ibu karena mandi-mandi sembarangan. Pada masa itu, kalau ingin berenang, pilihannya ada di Kolam renang Kalinjuang. Letaknya di Kota, Jauh. Jadi kalau mau praktis, ya berenang saja di arengka, gratis lagi..

Jika sudah musim puasa tiba, maka mati-matian lah berpuasa, minimal setengah hari. Kata Ibu itu belajar puasa, jangan sampe ga puasa sama sekali. Sahur setiap hari dirumah kakek, dengan menggelar tikar, dan makan sama-sama. Wah.. nikmat sekali. Begitu menjelang imsak, Kakek ku melafaskan niat dengan suara keras, seperti ini nih, “Niatku berpuasa Bulan Ramadhan…. Dst. Beliau juga melafaskan niat versi arabnya. Begitu pula waktu berbuka, Cuma kalau berbuka tidak menggelar tikar, pake meja makan. Malamnya Taraweh di Mesjid Al-Muqarabin, mesjid arah ke jalan dagang. Waktu itu, mesjid ini masih terbuat dari kayu, dengan model rumah panggung. Tetapi jemaahnya sudah ramai pada saat itu, jadilah aku taraweh setiap malamnya, eits, ga setiap malam kok, kadang ada juga lagi malesnya.

Pada Hari Raya, Kami sekeluarga besar akan Sholat di Halaman Kantor Gubernur Riau. Kalau ini, rasa-rasanya tidak ada perbedaan sampai saat ini. Semuanya masih sama saja. Mungkin yang terasa beda, lebaran dulu ramai sekali tetangga saling kunjung-mengunjungi, meskipun, rasa-rasanya yang namanya tetanggakan sudah tiap hari ketemu, tapi ya begitulah, masih dirasakan perlu saling berkunjung bersilaturahmi di hari yang suci. Begitu pula rumah Kakek, oh ya, Aku belum beritahu ya lokasi rumah Kakek, yaitu; di Jalan Putrinilam Nomor 51. Kalau masuk dari Jalan Pelajar itu disebelah kiri kira-kira 50 m. Nah kembali ke topic kita, rumah Kakek kalo lebaran, subhanallah, ramai yang berkunjung. Kalo aku ingat2, ga putus tamu datang dari sudah pulang sholat id sampe malam harinya. Kondisi ini biasanya berlangsung 2 hari-an, hari ketiga dah mulai kurang. Tapi tetap saja ramai, ramai lah pokoknya.

Senangnya Lebaran pada saat itu adalah; yang pasti pake baju baru, trus dikasih duit. Duit itu biasanya buat beli mainan di pasar pusat, pistol-pistolan yang ada peledaknya. Bunyinya “tar-tar-tar!” apalagi rada berasap, seru lah! Selain itu, Kami juga dengan teman-teman pergi ke Simpang Jalan Kalimantan (sekarang Jalan Pangeran Hidayat), untuk naik Komedi Putar yang diputar oleh Tenaga manusia. Bayarnya mungkin Rp.25,- sekali naik kalo ga salah ya. Wah hari itu bersenang-senang dan hepi laah..

Lain lagi kalo untuk mengisi waktu luang, serombongan anak “kampung” Putinilam akan mengisinya dengan bermain petak umpet, kelereng, gambar, dan main bola. Bola? Nah untuk yang satu ini Kami bermain di Halaman Yayasan Diniyah Putri. Lapangan nya dari tanah berpasir, jadi kalo dah main bola dijamin badan bakal putih-putih berpasir. Tapi itu tak jadi soal, yang penting main bola. Waktu itu yang jadi andalannya, itu tetangga, nama panggilannya Lian, wah kalo lagi gocek bola, seruu! Kalau aku mungkin lebih sebagai penggembira, ikut berlari-lari tapi entah kapan nendang bolanya…

Pekanbaru yang kutahu pada saat itu mungkin seputaran jalan Pelajar, jalan Nangka, Jalan sudirman dan arengka. Sesekali pernah “mbah Kung” mengajak ke peternakan itik melewati Jembatan Leighton (daerah rumbai) untuk menjemput sekotak anak itik. Lucu sekali anak-anak itik itu berwarna kuning dan ributnya bukan main…..

Jalan-jalan dipekanbaru pada saat itu sunyi dari lalu lalang kendaraan. Sesekali saja melintas, begitu pula bangunan sepanjang jalan Nangka, masih sederhana dan banyak terbuat dari kayu. Jalan Nangka yang masih satu lajur dengan kondisi tidak terlalu lebar, berbeda dengan sekarang yang penuh dengan Rumah-Toko (Ruko). Yang rada padat mungkin Jalan Sudirman khususnya dekat areal Pasar Pusat. Bangunan batu bergaya lama banyak terdapat disana. Aku ingat kalau ke sana sesekali mampir ke Penjahit M.Yusuf untuk menjahitkan baju disana, terutama jika mo datang lebaran atau jahit baju seragam sekolah…

Aku tidak ingat bagaimana ceritanya, yang jelas pada saat kenaikan kelas, yakni dari kelas 2 ke kelas 3, Kami sekeluarga pindah ke Jakarta. Kepindahan ini pun bagaimana jalan ceritanya ga begitu jelas, yang teringat hanya saat sudah di bandara Simpang Tiga, terus terbang ke Jakarta. So, goodbye Putri Nilam! Goodbye Pekanbaru! Jakarta, Aku dataaaangg!!!


3 komentar:

  1. seperti seharusnya, semakin ramai, padat dan komersil...

    BalasHapus
  2. Adek siti yulianti15 Juni 2011 pukul 09.21

    NICE NOTE!
    Mengingt masa2 kcl yg indah kdg bs membuat kita lbh bs mghargai hidup trutama orag tua jg diri kita sndiri, mari kita brbuat sesuatu yg lbh brguna lg krn SEKARANG ada krn DULU!

    BalasHapus