.

Minggu, 30 Maret 2014

Mengenang dokter R.M.Pratomo: Seorang Pionir Kesehatan Masyarakat dari Bagansiapiapi




Jika kita berkunjung ke Kota Bagansiapiapi, maka, kita akan melewati jalan yang merupakan pintu masuk Kota tua tersbut, yang sekarang dikenal dengan Jalan Pahlawan (di era kolonial bernama Haga Straat), disebelah kiri terdapat sebuah Rumah sakit Daerah milik Pemerintah yang bernama Rumah Sakit  R.M.Pratomo. Penamaan RM Pratomo ini adalah untuk mengenang jasa beliau, seorang dokter lulusan Stovia yang melakukan tugas pelayanan kesehatan di awal abad ke-20 di Bagansiapiapi.

Sebagaimana diketahui, bahwa di era pergantian abad dari abad ke-19 menuju abad ke-20, Pemerintah Kolonial bersama pihak swasta Eropa tengah dilanda “demam”  bisnis perkebunan, pengupayaan budidaya tanaman yang laku-keras dipasaran dunia dengan memanfaatkan lahan-lahan yang terhampar luas di negeri jajahan. Sebut saja salah satunya Pantai Timur Sumatra. Sebuah bisnis feodal-kapitalis yang prospektif bagi penguasa, melalui seangkaian pengadaan perjanjian dengan penguasa lokal, menuju sebuah profit yang luar biasa besar, bahkan diberitakan; bahwa hanya dengan modal senilai f300.000, menjadi berlipat senilai f14.000.000 dalam jangka waktu 14 tahun saja! Konsekuensi logis dari zaman ini adalah; terjadinya penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap pekerja guna memaksimalkan laba, kondisi yang didukung seperangkat aturan yang dikenal dengan “koeli-ordonantie,” ini juga mengingat bahwa pekerja yang didatangkan untuk bekerja disana mencapai  hampir 1 juta orang!  Suatu era penindasan, dimana penzaliman telah menjadi kelaziman. Di waktu ini, dan di situasi seperti inilah dr.R.M.Pratomo berada.

Pada awalnya, dr.R.M.Pratomo melakukan tugas perawatan terhadap pekerja dilingkungan pengusahaan kolonial, yang hal ini memaksanya untuk menyaksikan ketidakadilan dan kezaliman, yang membuatnya berada dalam sikap berseberangan, terutama terhadap penguasa dan pemilik modal – hal yang kala itu tidak diinginkan oleh Pemerintah kolonial. Setelah menjalani masa “menunggu” di Weltevreden,  dr.R.M.Pratomo sebagai pribadi yang tidak saja ramah, juga senantiasa selalu berupaya mengembangkan dan meningkatkan kemampuan dirinya; aspek yang sangat dibutuhkan untuk kelancaran pelaksanaan tugas di era Hindia Belanda, seperti; kemampuan berbahasa asing, musik hingga menggunakan senjata. Takdir akhirnya menuntun dokter R.M.Pratomo menuju Bagansiapiapi.

Selama menjalani masa tugas di Bagansiapiapi, dokter R.M.Pratomo tidak hanya melakukan perawatan medis terhadap masyarakat Bagansiapiapi yang didominasi oleh nelayan – yang meliputi juga tugas ke lepas pantai terutama pada djermal-djermal, melainkan juga melakukan tugas ke wilayah hulu sungai Rokan-hingga ke lanskap Tanah putih secara berkala – tugas yang juga didukung oleh Sultan Siak pada saat itu. Pengupayaannya, dedikasi dan integritas terhadap tugasnya, saat ini tampak nyata pada sebuah rumah sakit di Bagansiapiapi, yang pada awal pendiriannya di era kolonial adalah sebuah unit kesehatan dengan bangunannya yang sederhana dengan standar medis saat itu. Penerima “Litle Gold Star” dari ratu Belanda ini, hendaknya menjadi teladan, bagi setiap pribadi-terutama- yang bergerak di bidang pelayanan medis untuk  senantiasa mengedepankan tugas, meski jauh dari keramaian dan kehingaran kota. Seperti dr,RM.Pratomo, yang disepanjang hidupnya telah mengabdi dan terus mengabdi, hingga di bulan Februari tahun 1939, takdir menghentikannya.     

Berikut ini, petikan catatan tentang dokter RM Pratomo, yang dikisahkan oleh Jauhari Syam (Pensiunan Pegawai Rumah Sakit dokter RM Pratomo – anak dari Sjamsoeddin sebagai staf medis yang membantu dokter RM Pratomo, kemudian Dokter Mardhani Sutardjo (mantan kepala Rumah Sakit RM Pratomo), dalam “Sejarah singkat Rumah Sakit Umum Bagansiapiapi”,    Januari 1986.

“Pada Tahun 1910 (atau 1911:red) datanglah ke Bagansiapiapi seorang dokter tamatan Sekolah kedokteran Stovia Jakarta bernama dokter Raden Mas Pratomo. Beliau masih keturunan ningrat bangsawan kerabat kraton Yogyakarta.  Mungkin karena masih terpengaruh oleh pergerakan kebangsaan dikalangan mahasiswa kedokteran  pada waktu itu yang dipelopori teman sejawatnya dr.Sutomo  dibawah pembinaan dan bimbingan dr.Wahidin Soedirohoesodo, maka membuat dr.Pratomo  menjadi seorang yang idealis  penuh jiwa pengabdian dan tanggungjawab  terhadap bangsa dan negaranya.  Demikianlah pada waktu beliau pertama datang ke kota Bagansiapiapi ini dan melihat keadaan derajat kesehatan masyarakat bagansiapiapi yang masih sangat rendah sekali,  maka timbullah  dalam hati kecil beliau  tekad untuk memperbaiki / meningkatkan derajat  kesehatan masyarakat Bagansiapiapi dan sekitarnya. Inisiatif dokter pratomo tersebut mendapat dukungan sepenuhnya  dari masyarakat, sehingga pada tahun 1910 itu jugalah dokter pratomo dengan bantuan masyarakat mendirikan / membangun sebuah balei pengobatan  di sebidang tanah yang sekarang menjadi tempat berdirinya Rumah Sakit Umum Bagansiapiapi.  Bangunan Balai Pengobatan tersebut masih sangat sederhana sekali  yang merupakan rumah panggung yang tinggi beratapkan daun nipah, berdinding dan berlaintai papan nibung yang tinggi dan bercat kapur sirih. Bangunan tersebut merupakan dua bangunan yang dipersambungkan  dibangunan bagian depan  dipergunakan untuk poliklinik  sedang bangunan  bangunan bagian belakang  sebagai ruang perawatan.  Tidak berapa jauh dari bangunan tersebut diatas,  dokter pratomo juga membangun  rumah kediamannya secara pribadi.



Bangunan ini pun sangat sederhana  berlantai papan dan berdinding serta beratap nipah.  Tempat nya adalah dirumah dokter sekarang. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari  dr.Pratomo dibantu  oleh beberapa pembantu diantaranya dari keluarga dr.Pratomo sendiri yang datang dari Jogjakarta bersama R.Susanto (Ipar dari dr.Pratomo),  pembantu selebihnya adalah orang-orang Bagan asli diantaranya : Buddin Lahuzar dan Ahmad Dayan.

Didalam melaksanakan tugasnya selalu memberikan pelayanan pengobatan / Perawatan di Balai pengobatan  dr.Pratomo  pun aktif, meninjau kampung-kampung di sekitar Bagansiapiapi,  pulau-pulau dan desa kecil disepanjang sungai Rokan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyat di pedalaman.

Berkat kesungguhan dokter Pratomo dalam menangani masalah kesehatan masyarakat  khususnya pelayanan kesehatan yang diberikan di balai pengobatan menimbulkan rasa kepercayaan  yang besar masyarakat terhadap pengabdian dr.Pratomo di daerah ini.

Balai pengobatan  dr.Pratomo sangat terkenal sampai ke pelosok desa.  Penduduk desa ini berduyun-duyun datang  dengan sampan ke Balai Pengobatan dr.Pratomo di Bagansiapiapi.

Jerih payah dr.Pratomo dalam membina kesehatan masyarakat di daerah ini sangat menarik perhatian dan dukungan dari pada tokoh-tokoh / pemuka masyarakat  sehingga timbullah suatu tekad  masyarakat  demi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat  yang lebih baik perlu dibangun suatu rumah sakit  dan permanen.

Walaupun situasi tanah pada waktu itu belum mengizinkan  tetapi kiranya mereka merasa bahwa bangunan rumah sakit yang baik dan permanen yang benar-benar memenuhi persyaratan memang mutlak didirikan. Demikianlah pada tahun 1925  setelah lewat 10 tahun sejak berdirinya  bangunan darurat tersebut oleh sebuah perkumpulan dalam masyarakat setempat yang berbentuk semacam yayasan,   bernama ”Vereniging” [1]  mulailah dikumpulkan  dana untuk keperluan itu dari anggotanya dengan ketentuan sebagai berikut:

1.  Pengusaha hasil laut ditentukan iuran sebesar  f 2,50 – f 5 ( sesuai dengan besar kecilnya  usaha dan banyaknya jermal  yang dimilikinya);

2.  Pegawai Pemerintah yang menjadi anggota “Vereniging” ditentukan iuran sebesar 1%  dari gaji pokok;

3.  Hasil penjualan karcis di Balai Pengobatan;

4.  Kekurangan uang dana dari  yang terkumpul tersebut dibantu atau ditambah  Pemerintah Belanda  dari uang Pendidikan Sosial yang dipungut dari pemasukan beras di Kota Bagansiapiapi.

Uang yang dikumpulkan oleh Yayasan “Vereniging”  tersebut cukup lumayan besarnya sehingga dapat dibangun suatu Rumah Sakit yang permanen dan megah (menurut ukuran pada waktu itu)  yang terdiri dari 8 (delapan) bangunan besar;

1.         Bangunan induk untuk Kantor administrasi  dan poliklinik;

2.         Zaal Laki-laki;

3.         Zaal Wanita;

4.         Zaal khusus untuk penyakit menular;

5.         Sebuah bangunan rumah untuk pegawai;

6.         Sebuah bangunan dapur;

7.         Kamar mayat;

8.         Gudang.



Sebahagian bangunan-bangunan itu masih utuh dan dapat dimanfaatkan. Setelah selesai pembangunan komplek tersebut diberi nama  Armen Huis,  dan sebagai pimpinan ditunjuk dr,Pratomo  dengan pegawai-pegawainya antara lain:

1.       Abdurrahman;

2.       Gemang

3.       Syamsudin Rimbau

4.       Sagala

5.       Dagang



Dengan penambahan sarana-sarana kesehatan tersebut diatas    maka pelayanan kesehatan di Bagansiapiapi dapat lebih ditingkatkan.

Selanjutnya pada tahun 1934  pada saat dr.Pratomo mengambil cuti ke Negeri Belanda,  rumah pribadi dr.Pratomo  yang bangunannya masih sangat sederhana sekali  dibeli oleh “Vereniging” .  Kemudian rumah tersebut dibongkar   dan disitu dibangun sebuah rumah baru,  dimaksudkan untuk tempat tinggal dokter yang bertugas di rumah sakit tersebut.

Rumah dokter tersebut dikenal dengan nama  “dr.Woning”.

Sekembali dari Negeri Belanda,  dr.Pratomo kembali terjun lagi ke tengah masyarakat dengan semangat pengabdiannya  yang semakin menyala-nyala  tidak kunjung padam.

Namun   barangkali  demikianlah harusnya  akhir hayat seorang dokter yang idealis,   dokter Pratomo tewas  dalam suatu kecelakaan motor air  di pedalaman sungai Rokan. Dikisahkan pada tahun 1940 (1939-red)  pada waktu beliau bersama-sama   para pejabat dari Bagansiapiapi  dalam perjalanan meninjau kejadian wabah yang timbul di bahagian hulu sungai Rokan,  dr.Pratomo terjatuh dari motor FII  milik dari Pemerintah Belanda  yang dipergunakan rombongan  dalam peninjauan itu,  diperairan ulak  Bengkuang sekitar Siarang-Arang.  Jazadnya ditelan arus dan Lumpur Sungai Rokan dan tidak pernah diketemukan lagi.

Dengan tewasnya  dr.Pratomo   masyarakat Bagansiapiapi benar-benar merasa kehilangan,  bagi  mereka   dr.Pratomo  tidak saja sebagai  dokter yang dapat mengobati penyakit  tetapi juga adalah seorang tokoh pembangunan. Mungkin di Bagansiapiapi  dr.Pratomo adalah seorang yang pertama kali  dapat menggerakkan masyarakat menghimpun  dana swadaya masyarakat  untuk pembangunan  yang bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri  Untuk jasa-jasa yang besar tersebut diatas itu  wajarlah jika kita untuk mengenangnya agak sesaat,  semoga kepribadiannya yang sederhana  kemauannya berkorban untuk kepentingan masyarakat  tanpa pamrih dapat menjadi suri teladan  di masyarakat Bagansiapiapi ini….



[1] Dapat pula dicermati bahwa  menurut warta Kolonial,  De Sumatra Post, tanggal 4 Januari 1916,  dalam pemberitaan berjudul  Een ziekenhuis voor Bagan Api-Api,”  kemudian tanggal 30 Maret 1918, dalam Ziekenverpleging,  tentang Vereniging.

25 TAHUN PENGABDIAN SEORANG DOKTER DI BAGANSIAPIAPI



Di Bulan Agustus tahun 1936,  Indische Courant  memberitakan sebagaimana juga dilaporkan oleh Deli Courant bahwa Pemerintah Hindia di Bagansiapiapi, memperingati  25 tahun dokter R.M.Pratomo mengabdi  di Bagansiapiapi. Pada kesempatan itu, disampaikan ungkapan terimakasih pemerintah atas pengabdian yang telah ditunjukkan oleh dokter Pratomo.  Sebagaimana diketahui, pada kurun tahun 1920-an: bahwa kunjungan-tugas yang dilakukan oleh dokter Pratomo ke wilayah Rokan di pedalaman, selain melakukan berbagai kegiatan medis,  pemerintah juga memperoleh berbagai informasi berharga dari dokter Pratomo bagi kebijakan tentang upaya peningkatan kesehatan; bahkan disebutkan, pemerintah mengakui betapa pentingnya kehadiran dokter Pratomo kesana(pedalaman), serta pengembangan rumah sakit yang dilakukannya. 
Dokter Pratomo, bersama para mantri kesehatan di Bagan Siapi-api, disebelah kanannya adalah Djajeng Pratomo(putra sulung menjelang keberangkatannya ke negeri Belanda), sumber: MarjatiPratomo
 
Dokter Pratomo, gambar saat pembangunan ged.Rumah Sakit di Bagan Siapi-api-sumber:Ny.Marjati Pratomo