Jika kita berkunjung ke Kota Bagansiapiapi, maka, kita
akan melewati jalan yang merupakan pintu masuk Kota tua tersbut, yang sekarang
dikenal dengan Jalan Pahlawan (di era kolonial bernama Haga Straat), disebelah
kiri terdapat sebuah Rumah sakit Daerah milik Pemerintah yang bernama Rumah
Sakit R.M.Pratomo. Penamaan RM Pratomo
ini adalah untuk mengenang jasa beliau, seorang dokter lulusan Stovia yang
melakukan tugas pelayanan kesehatan di awal abad ke-20 di Bagansiapiapi.
Sebagaimana diketahui, bahwa di era pergantian
abad dari abad ke-19 menuju abad ke-20, Pemerintah Kolonial bersama pihak
swasta Eropa tengah dilanda “demam” bisnis
perkebunan, pengupayaan budidaya tanaman yang laku-keras dipasaran dunia dengan
memanfaatkan lahan-lahan yang terhampar luas di negeri jajahan. Sebut saja salah
satunya Pantai Timur Sumatra. Sebuah bisnis feodal-kapitalis yang prospektif
bagi penguasa, melalui seangkaian pengadaan perjanjian dengan penguasa lokal,
menuju sebuah profit yang luar biasa besar, bahkan diberitakan; bahwa hanya
dengan modal senilai f300.000,
menjadi berlipat senilai f14.000.000
dalam jangka waktu 14 tahun saja! Konsekuensi logis dari zaman ini adalah;
terjadinya penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap pekerja guna
memaksimalkan laba, kondisi yang didukung seperangkat aturan yang dikenal
dengan “koeli-ordonantie,” ini juga mengingat bahwa pekerja yang didatangkan
untuk bekerja disana mencapai hampir 1
juta orang! Suatu era penindasan, dimana
penzaliman telah menjadi kelaziman. Di waktu ini, dan di situasi seperti inilah
dr.R.M.Pratomo berada.
Pada awalnya, dr.R.M.Pratomo melakukan tugas
perawatan terhadap pekerja dilingkungan pengusahaan kolonial, yang hal ini
memaksanya untuk menyaksikan ketidakadilan dan kezaliman, yang membuatnya
berada dalam sikap berseberangan, terutama terhadap penguasa dan pemilik modal –
hal yang kala itu tidak diinginkan oleh Pemerintah kolonial. Setelah menjalani
masa “menunggu” di Weltevreden, dr.R.M.Pratomo
sebagai pribadi yang tidak saja ramah, juga senantiasa selalu berupaya
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan dirinya; aspek yang sangat dibutuhkan
untuk kelancaran pelaksanaan tugas di era Hindia Belanda, seperti; kemampuan
berbahasa asing, musik hingga menggunakan senjata. Takdir akhirnya menuntun dokter
R.M.Pratomo menuju Bagansiapiapi.
Selama menjalani masa tugas di Bagansiapiapi, dokter
R.M.Pratomo tidak hanya melakukan perawatan medis terhadap masyarakat
Bagansiapiapi yang didominasi oleh nelayan – yang meliputi juga tugas ke lepas
pantai terutama pada djermal-djermal, melainkan juga melakukan tugas ke wilayah
hulu sungai Rokan-hingga ke lanskap Tanah putih secara berkala – tugas yang
juga didukung oleh Sultan Siak pada saat itu. Pengupayaannya, dedikasi dan integritas
terhadap tugasnya, saat ini tampak nyata pada sebuah rumah sakit di
Bagansiapiapi, yang pada awal pendiriannya di era kolonial adalah sebuah unit
kesehatan dengan bangunannya yang sederhana dengan standar medis saat itu. Penerima
“Litle Gold Star” dari ratu Belanda
ini, hendaknya menjadi teladan, bagi setiap pribadi-terutama- yang bergerak di
bidang pelayanan medis untuk senantiasa
mengedepankan tugas, meski jauh dari keramaian
dan kehingaran kota. Seperti dr,RM.Pratomo, yang disepanjang hidupnya telah
mengabdi dan terus mengabdi, hingga di bulan Februari tahun 1939, takdir
menghentikannya.
Berikut ini, petikan catatan tentang dokter RM
Pratomo, yang dikisahkan oleh Jauhari Syam (Pensiunan Pegawai Rumah Sakit dokter RM Pratomo –
anak dari Sjamsoeddin sebagai staf medis yang membantu dokter RM Pratomo, kemudian Dokter Mardhani Sutardjo (mantan kepala Rumah Sakit RM Pratomo), dalam
“Sejarah singkat Rumah Sakit Umum Bagansiapiapi”, Januari
1986.
“Pada Tahun 1910 (atau 1911:red) datanglah ke Bagansiapiapi seorang dokter tamatan
Sekolah kedokteran Stovia Jakarta bernama dokter Raden Mas Pratomo. Beliau
masih keturunan ningrat bangsawan kerabat kraton Yogyakarta. Mungkin karena masih terpengaruh oleh
pergerakan kebangsaan dikalangan mahasiswa kedokteran pada waktu itu yang dipelopori teman
sejawatnya dr.Sutomo dibawah pembinaan
dan bimbingan dr.Wahidin Soedirohoesodo, maka membuat dr.Pratomo menjadi seorang yang idealis penuh jiwa pengabdian dan tanggungjawab terhadap bangsa dan negaranya. Demikianlah pada waktu beliau pertama datang ke kota Bagansiapiapi ini dan
melihat keadaan derajat kesehatan masyarakat bagansiapiapi yang masih sangat
rendah sekali, maka timbullah dalam hati kecil beliau tekad untuk memperbaiki / meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat Bagansiapiapi
dan sekitarnya. Inisiatif dokter pratomo tersebut mendapat dukungan
sepenuhnya dari masyarakat, sehingga
pada tahun 1910 itu jugalah dokter pratomo dengan bantuan masyarakat mendirikan
/ membangun sebuah balei pengobatan di
sebidang tanah yang sekarang menjadi tempat berdirinya Rumah Sakit Umum
Bagansiapiapi. Bangunan Balai Pengobatan
tersebut masih sangat sederhana sekali
yang merupakan rumah panggung yang tinggi beratapkan daun nipah, berdinding
dan berlaintai papan nibung yang tinggi dan bercat kapur sirih. Bangunan
tersebut merupakan dua bangunan yang dipersambungkan dibangunan bagian depan dipergunakan untuk poliklinik sedang bangunan bangunan bagian belakang sebagai ruang perawatan. Tidak berapa jauh dari bangunan tersebut
diatas, dokter pratomo juga
membangun rumah kediamannya secara
pribadi.
Bangunan ini pun sangat sederhana berlantai papan dan berdinding serta beratap
nipah. Tempat nya adalah dirumah dokter
sekarang. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari dr.Pratomo dibantu oleh beberapa pembantu diantaranya dari
keluarga dr.Pratomo sendiri yang datang dari Jogjakarta bersama R.Susanto (Ipar
dari dr.Pratomo), pembantu selebihnya
adalah orang-orang Bagan asli diantaranya : Buddin Lahuzar dan Ahmad Dayan.
Didalam melaksanakan tugasnya selalu memberikan
pelayanan pengobatan / Perawatan di Balai pengobatan dr.Pratomo
pun aktif, meninjau kampung-kampung di sekitar Bagansiapiapi, pulau-pulau dan desa kecil disepanjang sungai
Rokan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyat di pedalaman.
Berkat kesungguhan dokter Pratomo dalam menangani
masalah kesehatan masyarakat khususnya
pelayanan kesehatan yang diberikan di balai pengobatan menimbulkan rasa
kepercayaan yang besar masyarakat
terhadap pengabdian dr.Pratomo di daerah ini.
Balai pengobatan
dr.Pratomo sangat terkenal sampai ke pelosok desa. Penduduk desa ini berduyun-duyun datang dengan sampan ke Balai Pengobatan dr.Pratomo
di Bagansiapiapi.
Jerih payah dr.Pratomo dalam membina kesehatan
masyarakat di daerah ini sangat menarik perhatian dan dukungan dari pada
tokoh-tokoh / pemuka masyarakat sehingga
timbullah suatu tekad masyarakat demi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat yang lebih baik perlu
dibangun suatu rumah sakit dan permanen.
Walaupun situasi tanah pada waktu itu belum
mengizinkan tetapi kiranya mereka merasa
bahwa bangunan rumah sakit yang baik dan permanen yang benar-benar memenuhi
persyaratan memang mutlak didirikan. Demikianlah pada tahun 1925 setelah lewat 10 tahun sejak berdirinya bangunan darurat tersebut oleh sebuah
perkumpulan dalam masyarakat setempat yang berbentuk semacam yayasan, bernama ”Vereniging” [1]
mulailah dikumpulkan dana untuk
keperluan itu dari anggotanya dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Pengusaha
hasil laut ditentukan iuran sebesar f
2,50 – f 5 ( sesuai dengan besar kecilnya
usaha dan banyaknya jermal yang
dimilikinya);
2. Pegawai
Pemerintah yang menjadi anggota “Vereniging” ditentukan iuran sebesar 1% dari gaji pokok;
3. Hasil
penjualan karcis di Balai Pengobatan;
4. Kekurangan
uang dana dari yang terkumpul tersebut
dibantu atau ditambah Pemerintah
Belanda dari uang Pendidikan Sosial yang
dipungut dari pemasukan beras di Kota Bagansiapiapi.
Uang yang dikumpulkan oleh Yayasan
“Vereniging” tersebut cukup lumayan
besarnya sehingga dapat dibangun suatu Rumah Sakit yang permanen dan megah
(menurut ukuran pada waktu itu) yang
terdiri dari 8 (delapan) bangunan besar;
1.
Bangunan
induk untuk Kantor administrasi dan
poliklinik;
2.
Zaal
Laki-laki;
3.
Zaal
Wanita;
4.
Zaal
khusus untuk penyakit menular;
5.
Sebuah
bangunan rumah untuk pegawai;
6.
Sebuah
bangunan dapur;
7.
Kamar
mayat;
8.
Gudang.
Sebahagian bangunan-bangunan itu masih utuh dan
dapat dimanfaatkan. Setelah selesai pembangunan komplek tersebut diberi
nama Armen Huis, dan sebagai pimpinan ditunjuk dr,Pratomo dengan pegawai-pegawainya antara lain:
1. Abdurrahman;
2.
Gemang
3.
Syamsudin
Rimbau
4.
Sagala
5.
Dagang
Dengan penambahan sarana-sarana kesehatan tersebut
diatas maka pelayanan kesehatan di
Bagansiapiapi dapat lebih ditingkatkan.
Selanjutnya pada tahun 1934
pada saat dr.Pratomo mengambil cuti ke Negeri Belanda, rumah pribadi dr.Pratomo yang bangunannya masih sangat sederhana
sekali dibeli oleh “Vereniging” . Kemudian rumah tersebut dibongkar dan disitu dibangun sebuah rumah baru, dimaksudkan untuk tempat tinggal dokter yang
bertugas di rumah sakit tersebut.
Rumah dokter
tersebut dikenal dengan nama “dr.Woning”.
Sekembali dari Negeri Belanda,
dr.Pratomo kembali terjun lagi ke tengah masyarakat dengan semangat
pengabdiannya yang semakin
menyala-nyala tidak kunjung padam.
Namun barangkali demikianlah harusnya akhir hayat seorang dokter yang idealis, dokter Pratomo tewas dalam suatu kecelakaan motor air di pedalaman sungai Rokan. Dikisahkan pada
tahun 1940 (1939-red) pada waktu beliau
bersama-sama para pejabat dari
Bagansiapiapi dalam perjalanan meninjau
kejadian wabah yang timbul di bahagian hulu sungai Rokan, dr.Pratomo terjatuh dari motor FII milik dari Pemerintah Belanda yang dipergunakan rombongan dalam peninjauan itu, diperairan ulak Bengkuang sekitar Siarang-Arang. Jazadnya ditelan arus dan Lumpur Sungai Rokan
dan tidak pernah diketemukan lagi.
Dengan tewasnya
dr.Pratomo masyarakat
Bagansiapiapi benar-benar merasa kehilangan,
bagi mereka dr.Pratomo
tidak saja sebagai dokter yang
dapat mengobati penyakit tetapi juga
adalah seorang tokoh pembangunan. Mungkin di Bagansiapiapi dr.Pratomo adalah seorang yang pertama
kali dapat menggerakkan masyarakat
menghimpun dana swadaya masyarakat untuk pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri Untuk jasa-jasa yang besar tersebut diatas
itu wajarlah jika kita untuk
mengenangnya agak sesaat, semoga
kepribadiannya yang sederhana kemauannya
berkorban untuk kepentingan masyarakat
tanpa pamrih dapat menjadi suri teladan
di masyarakat Bagansiapiapi ini….
[1] Dapat pula
dicermati bahwa menurut
warta Kolonial, De Sumatra Post, tanggal 4 Januari 1916, dalam pemberitaan berjudul “Een
ziekenhuis voor Bagan Api-Api,”
kemudian tanggal 30 Maret 1918, dalam Ziekenverpleging, tentang Vereniging.

