.

Senin, 05 Desember 2011

DOKTER R.M. PRATOMO


Di Bagansiapiapi terdapat Rumah Sakit yang telah berdiri sejak masa Kolonial, dimana Kontrolir Haga pernah menjadi ketua presidiumnya.  Diberitakan bahwa dokter Pratomo terkena gelombang pasang ketika sedang melaksanakan tugas ke wilayah hulu sungai. Dikatakan, selama tur pada tahun 1939, ketika kapal itu dalam perjalanan di Sungai Rokan Dokter Raden Mas Pratomo, Pengawas Medis Rumah Sakit  di Bagan Si Api-Api-dihempas gelombang dan tenggelam.

Dokter Raden Mas Pratomo, berasal dari Paku Alaman Yogya, sudah bertugas sejak tahun 1913 di Bagan Siapi Api sebagai dokter Pemerintah Hindia, di mana dia bertanggung jawab untuk kegiatan Dinas Kesehatan. Ia sekolah di Stovia (Sekolah untuk melatih dokter-dokter Hindia) di Batavia dan lulus pada tahun 1906.

Tidak hanya sebagai seorang dokter,  beliau juga dikenal sebagai pribadi yang ramah dan dapat berkomunikasi dalam bahasa China dengan lancar. Pada masa itu,  seperti diketahui bahwa Bagan Si Api Api-adalah, salah satu tempat nelayan terbesar di dunia dengan populasi yang hampir seluruhnya komunitas China.


Bagansiapiapi,  5 Desember 2011
By  Tressi A.Hendraparya

Minggu, 04 Desember 2011

EKSPEDISI MENYUSURI SUNGAI ROKAN DARI BENGKALIS SAMPAI RANTAU BINOEWANG























kira-kira 127 tahun yang lalu  tepatnya tahun 1884, Laporan perjalanan JA.Van Rjin Van Alkemade diterbitkan. Laporan yang berisi catatan perjalanan sang administrateur Belanda dalam menyusuri Sungai Rokan yang dimulai dari Bengkalis sampai dengan Rantau Binoewang.  Perjalanan yang memakan waktu hingga 22 hari tersebut (6 – 28 Agustus)  memiliki rute Bengkalis – Selat Domei, Bagansiapiapi, Labuhan Tangga, Tanah Poetih – Rantau Binoewang balik ke  Bagansiapiapi dan kembali ke Bengkalis.

Perjalanan dilakukan dengan Perahu, sebuah perjalanan antropologis yang menantang dan juga berdekatan dengan bahaya. Kondisi ini disebabkan kondisi Sungai Rokan yang dikenal memiliki arus deras (mencapai 6 mil perjam) dan adanya gelombang pasang (beno) yang dapat berakibat fatal.  

JA Van Rijn banyak mencatat kejadian yang ditemuinya sepanjang perjalanan,   mulai dari tokoh Datoek Laksmana di Boekit Batoe, Pulau-pulau yang masih tak berpenghuni,  Kondisi Bagansiapiapi, Labuhan Tangga, Bangko, Tanah Poetih hingga kondisi masyarakat di Rantau Binoewang, yang meliputi kondisi sosio-kultural masyarakat.    Catatan Van Rijn  banyak membantu upaya untuk mengetahui keadaan sosial saat itu, seperti; kependudukan, pemerintahan tradisional, adat, legenda yang ada hingga realita sosioekonomi di sepanjang sungai Rokan menjelang abad ke-20. 

Tercatat juga beberapa perjalanan (ekspedisi) yang disponsori Pemerintah Kolonial seperti ekspedisi dari Padang menuju Siak, yang diterbitkan tahun 1895.  Penjajah, dalam upaya memperluas dan mempertahankan supremasinya atas wilayah koloni, salah satunya melakukan pengkajian yang mendalam atas kondisi sosiobudaya masyarakat (yang telah dan akan menjadi) jajahan. Dan hasilnya, 3,5 abad bangsa ini  berada sebagai bangsa sub-ordinat Kolonial. 

By Tressi A.Hendraparya

Jumat, 25 November 2011

VAN TANAH POETIH NAAR BAGAN API API


"Significance of the port of Singapore in the colonial era"

As noted in the Staatsblad 1894, Controleur Onderafdeeling Tanah Poetih  transferred to Bagan Api Api who realized in 1901. Consideration of the colonial government at that time other than to facilitate the collection of import-export duties, can also be seen from the location Bagansiapiapi located in the Strait of Malacca shipping traffic, adjacent to Singapore. As is known, then Singapore is the largest port of the Dutch ships outside of Europe, Singapore is growing and becoming the center of his own voyage for the Dutch East Indies; Singapore as a port of transit between the islands with international channels, from the bustling port of Bandar Singapore as a re-export and imports, including delivery of products from Bagansiapiapi via Singapore; Then Bagansiapiapi itself that has started to develop into a bustling port visited by ships, both sailing ships to steam ships and motor, which even stop off by KPM since 1890. Transportation routes via Bagansiapiapi, appears dominant for the transport of fishery products, in addition to a number of shipments of other products.




("Onderafdeeling Bagansiapiapi: Negeri Penghasil Ikan Terbesar di Dunia," Soreram Publisher,  1st Edition,   2011, pag.18)

By Tressi A.Hendraparya,  Bagansiapiapi,  25 November 2011

Rabu, 23 November 2011

BAUKE JAN HAGA : CONTROLEUR VAN BAGAN API API (1915 - 1917)



Speaking of the Sentra Fisheries in the archipelago, it will not be separated from discussing Bagansiapiapi, fishermen in the estuary of the Rokan River  located on the East Coast of Sumatra. However, Bagansiapiapi've become the most important fishing ports in the Netherlands Indies. In development since the adoption Controlleur Year 1901 in Bagan Api Api, then the process of development of the fishing industry can not be separated from the Colonial government intervention through a series of policies that are expected to drive the growth of natural resource-based industries such. Controller to move Bagansiapiapi, appears to be an era where the name starts Bagansiapiapi calculated in each report / colonial journals, such as those written by the A.G.Van Der Land polemical with Dr.Sunier, officials in Batavia Fisheries Institute, as in "Over de Visscherij Nawoord te industry Bagan Api Api " published In 1913. Meanwhile, studies on the Rokan estuaries by Boejinga is also one study showing synergy estuarine ecosystems in generating tremendous wealth of fish. Nevertheless, one of the most important writings on Fisheries Bagansiapiapi is as practiced by BJHaga, in "De Beteekenis Van Der Industrie Visscherij van Bagan Api Api en Hare Toekomst", published 1917 in the journal De Economist, January 1917 (66: 237-262) . This paper describes in detail the linkages between elements within the fishing industry, such as production equipment, transportation, the policy of the colonial rulers to salt, the condition of the population and economic calculations of production - Bagansiapiapi industry. Writings which consists of eight chapters is recommending things that become the basis for the colonial government's policy in dealing with the fishing industry. Who was B. J. Haga?  Bauke Jan Haga, is a controller who served in Bagan Api Api period 1915 to 1917. Haga was born in Groningen 9 November 1890. enrolled as a student of law and literature at the University of Leiden on 23 September 1909, on February 8, 1913 departing from Amsterdam to Batavia by ship Rembrandt, served as the Director of Civil Service on the east coast of Sumatra July 7, 1913, lived in Bindjei Langkat, then in Siak year 1914, As-inspector adspirant Siantar In 1914, served as Controller of Civil Administration Bagan Api-Api (1915-1917), lived in Bagan Api Api, also served as president Onderafdeelingsbank Bagan Madjoe (1917), as president-treasurer of the Association for the construction and maintenance of a hospital in Bagan Api Api (1917), then obtaining a PhD from the University of Leiden in December 1924 with a dissertation titled en "Indonesische Indische democracy", the book is widely read by the national independence movement leaders, such as Dr.M Hatta. At the end of the Dutch East Indies, Haga served as Governor of Borneo.
By Tressi A.Hendraparya,  Bagansiapiapi,  23 November 2011 
rioembeer@yahoo.com


Minggu, 16 Oktober 2011

REVIEW OF RADIO SORERAM IN SURYADI'S WORK

by Tressi A Hendraparya
rioembeer@yahoo.com
 
Since its establishment in 1990, Radio Soreram Indah (RSI) was still struggling in the effort to obtain permit to broadcast on FM. Nevertheless, the struggle to develop the Malay culture through radio broadcasts still continue to be maintained and developed in accordance with the motto "Developing Malay Culture". "I am proud to have worked there". 
 





 The following is an article about Radio Soreram on Suryadi's work is Reviewed by Kara Lawton and  Edited by Priscilla Penate.
"SURYADI (2005) ; Identity, Media and the Margins: Radio in Pekanbaru Riau (Indonesia), Journal of Southeast  Asian Studies, 36 (1), 131 - 151"
The Suharto regime in Indonesia forced the country’s diverse ethnic population to identify with one unified, nationalistic culture. Since the Reformation Era or zaman Reformasi began in 1998, regionalism has become a major aspect of political, economic and cultural life. Suryadi examines the expression of regional identity in private radio programs and its effect on the, “national culture-under-construction in post-Suharto Indonesia.” The study examines how locals identify themselves through the electronic media, primarily through radio programming.

Suryadi conducted fieldwork in Pekanbaru, Riau in 1999 and 2000. The study is based on his fieldwork, continued observation of media developments since the fieldwork was completed, and a case study at Radio Soreram Indah (RSI). His research focuses on the audio-visual media and the radio programs that use regional languages and cultural discourse.  Located close to Singapore and  Malaysia, the Riau province receives programming from both international and domestic media. Suryadi frequently focuses on Malays, an ethnic group struggling for cultural and national identity, and especially influenced by international media.

The author presents an in-depth political, economic and cultural description of the province and Malays. The article also includes a detailed history and the status of Indonesian television and radio, particularly in Riau. Radio is the strongest media presence in the country and represents more regional languages than other mediums. Unlike television, radio provides a forum to voice dissent and, “has considerable subversive power against the state.”  

 Pekanbaru residents consider RSI a trademark of local culture. The station generates considerable advertising revenue. Popular RSI programs air readings of audience-composed poems, host commentary, guest storytellers and regional music requested by listeners (played from cassettes). They broadcast in the local language or dialect of the show’s target audience, which range from Malays, Minangkabau and by social class. RSI’s programming changes to appeal to emerging ethnic groups like Gendang Ocu and Ranah Minang Maumbau.

 Local Riau radio programs target specific ethnic groups. The different languages and dialects they broadcast promote listeners' desire for a local cultural identity distinct from the previously imposed national one. This development allows for greater expression of regional identity and pride, but increases the tension between different ethnic groups in Riau. Local communities now realize they have a presence within the media.  According to Suryadi, the local content embraced by Pekanbaru audiences demonstrates radio’s potential to help protect traditional culture from the effects of globalization. The study gives a comprehensive overview of radio broadcasting's cultural impact in Indonesia.







Sabtu, 15 Oktober 2011

a Book : ONDERAFDEELING BAGANSIAPIAPI

COUNTRY'S LARGEST FISH PRODUCER IN THE WORLD


 This book tells the story of Onderafdeeling Bagansiapiapi conditions, an entity in the Rokan River Estuary reaches heyday as the country's largest fish producer in the world in the era of the Dutch East Indies. Starting from the arrival of Chinese sailors around the year 1875 (Vleming), which with a wealth of natural resources fish fauna in the Rokan estuary, Strhength of human resources, capital and political developments in the Area East Coast of Sumatra, making Onderafdeeling Bagansiapiapi into an area that developed and developing countries on track cross the Straits of Malacca. Nevertheless, fishing is not the only livelihood for residents, also recorded Rubber plantations, copra and coloring economy Pinang joined the population, ranging from "Hulu Sungai" Rokan to "Hilir" region. Onderafdeeling Bagansiapiapi divided into three sub-districts, namely the Bangko,  Tanah Poetih and Koeboe Sub-district, inhabited by Malays as the indigenous people of this region. The interesting thing is, on the book cover shows the image of the Port Bagansiapiapi the Year 1924, which was a trading port and bustling Fisherman. As for his condition at the present time has been changed to the mainland by a dense residential population. This condition is according to Butcher (1996) one of which is suspected due to the silting that occurs in Rokan estuary that has been going on since 100 years ago, when deforestation in upstream areas of rivers as a logical consequence of meeting the needs of large quantities of wood for the development of fish industry and housing development .

Author : Tressi A.Hendraparya
Publisher  : Soreram Media
                 Jalan Putrinilam No.51 Pekanbaru 28128 - Indonesia
                 Contact Person: 0813-7134-5316
Printed by : PT.Pekanbaru Grafika
159 pages,  20 x 14 cm
ISBN: 978-602-9968-0-7
September,  2011
rioembeer@yahoo.com 


RELATIONSHIP AND SOCIAL PATTERN IN BAGANSIAPIAPI


Observation in 2003 - 2006

This study is an assessment of inter-ethnic social relations in Bagansiapiapi. Bagansiapiapi chosen due to the background history of this city and social development of the post is so rapid regional expansion. This study uses qualitative methodology, "thick descriptive"  as suggested by Geertz.

By Tressi A.Hendraparya
rioembeer@yahoo.com


Boundaries of ethnic groups is the determining characteristic of his own group that received by other groups and can be distinguished from other population groups (Narroll, 1964). In other words, socially ethnic groups is as a social order, which can be recognized by recognized by other groups. In situations of social systems that required extensive positive bonding relationships between ethnic groups, and usually depends on the complementary nature of culture. These conditions can be assumed to lead to mutual dependence or symbiosis (Batrh, 1969). This condition is a potential for the continuation of the integration process.


As commonly associated with the integration in a social system, the people will always be in a situation to integrated rather than conflict. Such differences are reflected in the symbolic order which is often quite sharp is a boundary or barriers towards integration of the process itself. Especially in ethnic....... ect




Writing work in progress...

Minggu, 05 Juni 2011

The Good Earth (Bumi yang Subur) dan Banjarsari XIV

 Akhir-akhir ini aku teringat tentang beberapa novel yang pernah kubaca, kukagumi, bukan hanya oleh keapikan penulisan dan penggunaan kata dalam mendeskripsi maksud si pengarang, melainkan juga akan kekuatan tema dan penggambaran suasana masyarakat lokus novel tersebut, seperti “Bumi Yang Subur” yang ditulis oleh Pearl S.Buck (The Good Earth).

Novel yang memperoleh nobel pada tahun 1932 ini berisi tentang kondisi social masyarakat Cina pada era sebelum revolusi 1949. Diwakili oleh sosok bernama Wang Lung, seorang petani miskin yang dengan kegigihannya berhasil membangun dinasti keluarga Wang yang kaya, dengan tanah yang luas. Keterikatan Wang Lung yang erat dengan tanah, bumi yang memberinya kehidupan, kemegahan dan kemakmuran.

Lantas dimana istimewa nya ini novel bagi diri?

Wah, novel ini mengingatkan ku akan kehidupan di Banjarsari XIV Cilandak. Ibu, waktu itu terdaftar sebagai mahasiswa Sastra Inggris Universitas Nasional Jakarta (kurun 1982-1985). Maklum saja, yang namanya mahasiswa sastra, banyak itu buku karya sastra yang dibacanya, termasuk novel si Wang Lung ini. Kecipratan lah aku membaca buku-buku sastra, seperti The Mayor of Casterbridge, Max Havelaar, Robinson C., Merahnya merah, The Moon Stone, Karya-karya Pram, Burung-burung Manyar, dan….. mmm.. apa lagi yah??


Minggu, 22 Mei 2011

PUTRI NILAM PEKANBARU

1979-1982

Tulisan ini tidak bermaksud menceritakan seorang Putri yang bernama Nilam, melainkan ini adalah sebuah nama Jalan disalah satu sudut Kota Pekanbaru Riau. Seingatku, Jalan Putri Nilam ini dahulu tidak lebih dari 4 m lebarnya, sehingga hanya satu kendaraan roda empat yang dapat melaluinya, jalan tanah yang kalau musim hujan akan melunak sehingga siap-siap saja mobil akan terpuruk disana. Namun dari jalan ini pula Aku setiap pagi hari berangkat ke Sekolah di Taman Kanak Diniyah Putri yang letaknya di Jalan Pelajar (sekarang Jalan Kh.Ahmad Dahlan), dan sorenya aku belajar agama di Yayasan tersebut. Saat aku menginjak bangku sekolah dasar, maka kalau berangkat Sekolah (sekolah ku di SD 4 belakang Kantor Gubernur Riau), maka aku berjalan melalui Jalan Dagang yang kondisinya juga sama, terus ke jalan utama. Aku berjalan kaki dengan Kakakku, karena kakak ku juga bersekolah disana, ia kelas 3. Jadi ketika sudah lonceng pulang sekolah, maka Kami berjalan pulang menyusuri jalan yang sama. Terkadang Kami dijemput, mungkin oleh Abang, atau Kakekku. Ya siapa sajalah yang bisa menjemput.

Pekanbaru semasa aku Taman Kanak dan awal Sekolah Dasar, tepatnya Tahun 1979 sampai 1982, benar-benar berbeda dengan Pekanbaru sekarang. Kendaraan umum yang setia mengantar sesuai rutenya adalah kendaraan jenis chevrolet. Itupun masih jarang melintas di jalanan. Sesekali saja, tapi rasa-rasanya dapat memenuhi kebutuhan transportasi. Maklum saja, warga juga masih jarang pada saat itu.

Sesekali pada hari Minggu, Kakek mengajak Kami ke Kebun di arengka, (sekarang Jalan Sukarno Hatta). Perjalanan melewati Jalan Nangka, yang pada saat itu, aspal jalan hanya sampai kira-kira dekat Jalan Paus, selebihnya arah ke arengka masih jalan tanah. Kakek mengendarai mobil jenis jeep ala militer yang masih pake terpal. Pemandangan kanan-kiri adalah Hutan-hutan yang sudah ditebangi, namun menyisakan beberapa batang kayu besar yang terletak begitu saja. Sampai dekat pertigaan antara Jalan Nangka dan Jalan Sukarno Hatta, atau Simpang SKA sekarang, Mobil terpaksa berhenti, nampaknya badan jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat hanya sampai disini. Kamipun turun dan berjalan kaki arah ke kanan atau menuju persimpangan jalan durian, mungkin kira-kira 200 meter saja. Maka sampailah ke Kebun Kakek yang sudah mulai digarap. Nampaknya pekerjaan ini sangat berat, berhubung kondisi lahan gambut dan baru saja dibuka. Drainase buatan selebar 2 meter cukup banyak membantu pengeringan lahan. Namun pada saat itu tetap saja lahan seperti dalam kondisi bencah (rawa). Masih banyak burung –burung liar yang berkeliaran, aku tidak tau jenis apa. Maklum, masih kecil. Namun rasa-rasanya Kakek membawa juga senapan angin untuk jaga2, namanya juga masih rada hutan. Pada saat itu, di halaman rumah kakek ada Kandang ayam yang besar sekali, saking besarnya jadi kami biasa bermain-main melihat ayam dan juga, ehm.. ada kulit harimau!

Terkadang dikesempatan yang lain, aku dengan kawan-kawan pergi ke pertigaan nangka –arengka hanya untuk mandi di sungai-sungai galian escavator, sungguh menyenangkan. Bagaimana dengan sepeda mini aku terjun ke sungai tersebut yang airnya berwarna merah. Sangat menyenangkan. Tapi yang jelas, pulangnya aku dimarahi oleh ibu karena mandi-mandi sembarangan. Pada masa itu, kalau ingin berenang, pilihannya ada di Kolam renang Kalinjuang. Letaknya di Kota, Jauh. Jadi kalau mau praktis, ya berenang saja di arengka, gratis lagi..

Jika sudah musim puasa tiba, maka mati-matian lah berpuasa, minimal setengah hari. Kata Ibu itu belajar puasa, jangan sampe ga puasa sama sekali. Sahur setiap hari dirumah kakek, dengan menggelar tikar, dan makan sama-sama. Wah.. nikmat sekali. Begitu menjelang imsak, Kakek ku melafaskan niat dengan suara keras, seperti ini nih, “Niatku berpuasa Bulan Ramadhan…. Dst. Beliau juga melafaskan niat versi arabnya. Begitu pula waktu berbuka, Cuma kalau berbuka tidak menggelar tikar, pake meja makan. Malamnya Taraweh di Mesjid Al-Muqarabin, mesjid arah ke jalan dagang. Waktu itu, mesjid ini masih terbuat dari kayu, dengan model rumah panggung. Tetapi jemaahnya sudah ramai pada saat itu, jadilah aku taraweh setiap malamnya, eits, ga setiap malam kok, kadang ada juga lagi malesnya.

Pada Hari Raya, Kami sekeluarga besar akan Sholat di Halaman Kantor Gubernur Riau. Kalau ini, rasa-rasanya tidak ada perbedaan sampai saat ini. Semuanya masih sama saja. Mungkin yang terasa beda, lebaran dulu ramai sekali tetangga saling kunjung-mengunjungi, meskipun, rasa-rasanya yang namanya tetanggakan sudah tiap hari ketemu, tapi ya begitulah, masih dirasakan perlu saling berkunjung bersilaturahmi di hari yang suci. Begitu pula rumah Kakek, oh ya, Aku belum beritahu ya lokasi rumah Kakek, yaitu; di Jalan Putrinilam Nomor 51. Kalau masuk dari Jalan Pelajar itu disebelah kiri kira-kira 50 m. Nah kembali ke topic kita, rumah Kakek kalo lebaran, subhanallah, ramai yang berkunjung. Kalo aku ingat2, ga putus tamu datang dari sudah pulang sholat id sampe malam harinya. Kondisi ini biasanya berlangsung 2 hari-an, hari ketiga dah mulai kurang. Tapi tetap saja ramai, ramai lah pokoknya.

Senangnya Lebaran pada saat itu adalah; yang pasti pake baju baru, trus dikasih duit. Duit itu biasanya buat beli mainan di pasar pusat, pistol-pistolan yang ada peledaknya. Bunyinya “tar-tar-tar!” apalagi rada berasap, seru lah! Selain itu, Kami juga dengan teman-teman pergi ke Simpang Jalan Kalimantan (sekarang Jalan Pangeran Hidayat), untuk naik Komedi Putar yang diputar oleh Tenaga manusia. Bayarnya mungkin Rp.25,- sekali naik kalo ga salah ya. Wah hari itu bersenang-senang dan hepi laah..

Lain lagi kalo untuk mengisi waktu luang, serombongan anak “kampung” Putinilam akan mengisinya dengan bermain petak umpet, kelereng, gambar, dan main bola. Bola? Nah untuk yang satu ini Kami bermain di Halaman Yayasan Diniyah Putri. Lapangan nya dari tanah berpasir, jadi kalo dah main bola dijamin badan bakal putih-putih berpasir. Tapi itu tak jadi soal, yang penting main bola. Waktu itu yang jadi andalannya, itu tetangga, nama panggilannya Lian, wah kalo lagi gocek bola, seruu! Kalau aku mungkin lebih sebagai penggembira, ikut berlari-lari tapi entah kapan nendang bolanya…

Pekanbaru yang kutahu pada saat itu mungkin seputaran jalan Pelajar, jalan Nangka, Jalan sudirman dan arengka. Sesekali pernah “mbah Kung” mengajak ke peternakan itik melewati Jembatan Leighton (daerah rumbai) untuk menjemput sekotak anak itik. Lucu sekali anak-anak itik itu berwarna kuning dan ributnya bukan main…..

Jalan-jalan dipekanbaru pada saat itu sunyi dari lalu lalang kendaraan. Sesekali saja melintas, begitu pula bangunan sepanjang jalan Nangka, masih sederhana dan banyak terbuat dari kayu. Jalan Nangka yang masih satu lajur dengan kondisi tidak terlalu lebar, berbeda dengan sekarang yang penuh dengan Rumah-Toko (Ruko). Yang rada padat mungkin Jalan Sudirman khususnya dekat areal Pasar Pusat. Bangunan batu bergaya lama banyak terdapat disana. Aku ingat kalau ke sana sesekali mampir ke Penjahit M.Yusuf untuk menjahitkan baju disana, terutama jika mo datang lebaran atau jahit baju seragam sekolah…

Aku tidak ingat bagaimana ceritanya, yang jelas pada saat kenaikan kelas, yakni dari kelas 2 ke kelas 3, Kami sekeluarga pindah ke Jakarta. Kepindahan ini pun bagaimana jalan ceritanya ga begitu jelas, yang teringat hanya saat sudah di bandara Simpang Tiga, terus terbang ke Jakarta. So, goodbye Putri Nilam! Goodbye Pekanbaru! Jakarta, Aku dataaaangg!!!


Sabtu, 21 Mei 2011

IDRIS SUTRISNA

LetKol Inf.(Purn)H.IDRIS SUTRISNA
catatan Seorang cucu


Jika jarum jam bisa diputar ulang, aku ingin sekali mendengar cerita dan kisah tentang masa perjuangan dari beliau, kakek ku, yang walau telah tiada namun sejarah hidupnya telah menginspirasi Kami untuk tetap bersemangat menjalani segala hal dan berbuat sesuatu yang berguna dalam kehidupan ini.

Ya, mendiang kakek ku bernama IDRIS SUTRISNA, seorang purnawirawan TNI AD berpangkat Letnan Kolonel. ‘Mbah kung’, demikian biasa aku menyapa beliau. Ingatanku seakan menari-nari kembali pada sekitar tahun 79-an. Saat itu aku duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar. Aku bersekolah di SDN 4 Pekanbaru, letaknya kira-kira di areal belakang Kantor Gubernur Riau. Kakek ku, seingatku beliau bertugas dikaryakan di Mawil Hansip Riau. Aku, kakak, abang dan ibu tinggal dirumah petak dibelakang rumah Kakek, jadi setiap hari aku selalu bermain di rumahnya, lalu kalau sudah sore, saban hari akan ke rumah kakek untuk nonton TV, TVRI pada saat itu. Biasanya Kakek ku akan duduk di kursi sambil membaca, Kami duduk di depan TV di ruangan tengah. Kami sekeluarga besar biasa duduk disana, bercerita, berdiskusi. Disanalah aku biasa mendengar Kakek ku bercerita, terutama kisahnya semasa Perjuangan Revolusi Fisik.. mulai dari beliau masuk tentara, pada waktu itu PETA (Pembela Tanah Air). Bagaimana beliau melakukan Perang Gerilya di Jawa Tengah… aku terkagum-kagum.. sebab perjuangan ini bukan sekedar perjuangan, namun melibatkan seluruh sumber daya yang ada.. bahkan ketika ibu lahir, disebabkan kondisi yang tidak menguntungkan karena agresi belanda, terpaksa harus ikut mengungsi ke bukit-bukit yang ada di daerah Purwokerto, saat itu Ibu baru saja dilahirkan pada tahun 1947..

Hal lain yang berkesan adalah kedisiplinan Kakek ku.. Ia berdisiplin dalam segala hal,.. kemudian watak Kejujurannya, dan ketaatannya beribadah…
Aku bangga dengan Mu Kakek ku!

Kakek ku, Letkol.Inf.Idris Sutrisna, pada saat momen purna tugas TNI


kakek dari berdiri paling kanan, ibu dan nenek
saat ibadah haji tahun 1997


Senin, 02 Mei 2011

Banjarsari XIV Cilandak Jakarta

Beberapa hari yang lalu Aku kebetulan sedang bertugas ke Jakarta, dan kebeteulan lagi nih, ada jeda waktu kosong.. ketimbang di anggurin aja nih waktu,  Aku sempatkan saja mampir ke salah satu wilayah di Cilandak Jakarta Selatan.. tepatnya di Jalan Banjarsari XIV.  Kok ke situ?  yah.. mungkin karena beberapa malam terakhir aku kemimpi-mimpi bertandang kesana, ke rumah dimana aku menghabiskan sebahagian masa kecil.. mulai TK sampai ke Sekolah Dasar kelas 6, karena pertengan kelas 6 aku pindah ke RIAU..

Sungguh mengesankan melihat kembali "Kampung Halaman" yang telah lama ku tinggalkan.. Kepindahan ku dari sana sekitar tahun 1985, jadi kalau dihitung sekarang, sudah sekitar 26 tahun.. sungguh waktu yang panjang..   dan sekali lagi aku terkesan.. karena  "Kampung Banjarsari XIV Halaman" ini sekarang berada pada situasi yang sungguh asri, rimbun, nyaman.. apalagi pada saat aku disana angin semilir bertiup diantara rimbunnya dedaunan.. sungguh pemandangan luar biasa di tengah-tengah kesumpekan Jakarta..  Yang jelas, Banjarsari XIV adalah tempat aku belajar melafaskan fonetik,  elu.. gua.. Saya.. Kamu.. Mbak.. Mas.. Ibu..  kemudian belajar mengaji di Mesjid yang terletak di Komplek Keuangan yang berada di sisi Jalan Fatmawati.. Juga bersekolah TK di depannya  (Aku lupa namanya).. juga bersekolah di SDN 09 Pagi Clandak..mungkin nama teman Sekelas yang kuingat seperti; Syarifuddin Anwar (Dino), pepep Febriandi, Alfian, Bayu Aji, Bambang Aprianto, Iranes, Titis,  Dina, hmm.. siapa lagi yah??? 

Aku terduduk di samping Tembok Batas antara Komp keuangan dengan Banjarsari XIV.. memandangi Pepohonan Kamboja.. aku teringat dulu sering duduk-duduk.. bahan memanjat pepohonan itu.. bercengkrama dengan teman-teman..  ada seorang Teman dekat, rumahnya disebelah pepohonan itu, nama panggilannya Tatok, karena aku datang sekitar jam 3 an, tentu saja riskan untuk berkunjung.. jam kerja gan! Melewati pepohonan Kamboja itu arah ke Komplek, maka dapat ditemui warung Bu Min, tapi Aku dengar belai sudah mangkat.. aku ingat bagaimana dari rumah aku berlarian kesenangan karena diberi duit untuk jajan ke warung  Bu Min..  itu dulu Gan!

Pandangan aku alihkan ke arah Terogong.. sekarang sudah penuh rumah, bahkan dikejauhan view nya adalah bangunan tinggi menjulang.. bukan seperti yang masih ada dibenak ku, 26 tahun lalu.. dimana aku sering mencari ikan di kali-kali, atau bahkan udang di Sawah yang banyak terdapat disana..   sekarang sudah beda.. sudah beda...

Saat Aku ingin mengambil gambar Papan Nama Jalan Banjarsari XIV, sebilah tangan muncul.. dan aku segera menyadari pemilik Tangan itu adalah Ibu Bambang.. Seorang Ibu yang sangat Luar Biasa kepeduliannya, keuletannya dalam membentuk lingkungannya.. Seorang Ibu yang sangat hebat, mempu menjadi motivator bagi warga di sana dalam menjaga kelestarian lingkungan..

Aku pun bertandang ke rumah beliau, mengobrol, kurang lebih selama 1 jam.. sungguh perjuangan Ibu Bambang menginspirasi kepada generasi penerus untuk mempertahankan kesimbangan lingkungan..

aku bersama kakak, di banjarsari xiv tahun 78-an.
dibelakang tampak tembok pemisah antara
banjarsari dengan kompl.keuangan



aku dengan kakak, depan rumah, dibanjarsari xiv no.2
keren kan gaya anak-anak tahun 70-an?



Aku, kelas 4 SD, SDN 09 Pagi Cilandak
gi mejeng depan TV.. tahun 83 gan!

Banjarsari XIV Cilandak... 2011


deretan pohon kamboja.. tempat aku biasa duduk2 dulu..


view dari jl keuangan, rumah sesudah tembok batas,
sebelah kiri yg bertingkat...
Aku bersama Bu Bambang